Tuesday, December 31, 2019

Terima Kasih Sudah Lebih Baik

Ternyata sepanjang 2019 saya belum pernah menulis apapun di blog ini.
Baiklah, ini akan jadi post pertama dan terakhir di 2019.

Semua ini bermula dari banyak postingan orang tentang pencapaian mereka dalam satu dekade. Ada banyak yang menjabarkan mulai dari highlight pertahun. Dari 2010 sampai 2019. Saya mencoba menuliskan hal yang sama, tapi ada beberapa tahun yang saya benar-benar tidak tahu harus menulis pencapaian apa. Setelah diingat kembali, beberapa tahun yang hilang itu adalah tahun-tahun dimana saya sedang berusaha bangkit dari depresi. Mengingat susahnya tidur, atau mimpi-mimpi buruk yang detail dan nyata seperti scene dalam sebuah film horor. Sesak napas gak karuan, mual muntah setiap ke luar rumah. Merasa sendirian setiap saat. Sampai akhirnya saya menulis dengan jujur. Semua hal yang ingin saya dengar dari orang-orang yang terdekat tapi jarang sekali terucap oleh mereka. Mungkin karena mereka tidak tahu harus apa, atau karena mereka sibuk sendiri. Itu jadi pembelajaran besar untuk saya, bahwa tidak akan ada yang bisa menyelamatkan saya kalau bukan diri sendiri. 

Beberapa tahun ke belakang, merasa gagal saya rasakan hampir setiap hari. Saya jauhi, saya marahi, saya benci, tapi suatu hari kami duduk bersama membahas apa dan kenapa, lalu sekarang kami berteman dekat. Dari gagal saya belajar untuk melihat banyak kesempatan, saya belajar untuk mengenal diri sendiri, saya belajar untuk lebih baik, dan yang terpenting saya belajar untuk menerima. Menerima nasib buruk, menerima bahwa hidup tidak agi semudah dulu, dan banyak hal lainnya. 

Kita selalu memuja keberhasilan, seperti ada kemungkinan bahwa hidup bisa sempurna. Lupa kalau di dunia ini isinya hanya proses. Yang ada hanya menjadi lebih baik dan lebih baik. Kesalahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dan untuk seseorang yang punya sifat perfectionist, saya sudah mulai berdamai dengan kenyataan tersebut. 

Hal lain yang saya pelajari antara lain adalah menikmati waktu bersama suami. Sejak awal menikah kami memang berencana untuk menunda punya anak. Sesimpel karena kami belum siap, lahir dan batin, serta ada banyak pertimbangan lain yang belum tentu dimengerti oleh orang.  Tahun awal pernikahan, banyak sekali suara-suara asing yang mengdikte pilihan kami seperti "gak boleh nunda rejeki nanti malah gak dikasih", atau "kalau kelamaan susah lo dapatnya". Hal ini sempat bikin saya stress, dan bertanya apa pilihan hidup saya salah, apa saya sangat berdosa. Butuh waktu yang lumayan lama untuk meyakinkan bahwa pilihan saya adalah yang terbaik untuk saya. Dan Betapa bahagianya saya, saat menyadari bahwa tuhan beri saya kesempatan untuk mengenal pasangan saya lebih jauh, untuk menunaikan ibadah yang lain, untuk berbakti lebih ke orang tua. Kami luangkan waktu untuk bermain bersama anak sepupu, anak teman, memperhatikan perkembangan mereka, berkesempatan mencoba jadi orang tua. Saya belajar, untuk hanya jadi penonton perjalanan teman dan saudara saya dalam mendidik anak mereka, mengambil yang baik dan membuang yang buruk, lalu menciptakan cara saya sendiri kelak. 

Hal lain kedua yang saya pelajari adalah belajar mencintai diri sendiri. Terdengar sangat klise, namun sejujurnya ini sulit untuk saya. Dulu saya lebih semangat, lebih penasaran, ingin tahu banyak hal, ingin belajar lebih banyak lagi. Seiring waktu banyak perubahan yang terjadi secara fisik dan mental. Gak kerasa saya melahap makanan apa saja, membuat penampilan saya berubah. Baju mulai gak cukup, celana gak bisa dikancing. Kadang saya menangis di kamar pas, saat mencoba baju di toko. Setiap saya bercermin, saya seperti melihat orang lain. Saya kehilangan sosok yang saya miliki. Saya sadar saya tidak lagi seproduktif dulu lantaran saya marah dengan nasib buruk. Saya merasa saya sudah bekerja dari senin sampai minggu, merasa saya ber hak menghabiskan waktu hanya untuk menonton dan tidur-tiduran. Lalu saya tersadar yang saya kira reward ternyata petaka. Lutut saya bunyi setiap naik tangga, gigi saya sakit sehabis makan coklat, dan mata saya makin buram. 
Saya mencoba keluar dari lingkaran sifat buruk tersebut. Perlahan-lahan saya mulai olah raga, lalu saya ke dokter gigi. Ternyata ada 5 gigi saya yang bolong dan harus ditambal. Saya ke fisioterapi, ternyata badan saya kaku-kaku karena kurang pemanasan. Fun fact: ternyata kita perlu melakukan pemanasan seenggaknya sekali sehari. Kemudian saya belajar tentang skin care, bagaimana caranya, apa manfaatnya. Pelan-pelan saya mulai percaya diri lagi, saya mulai tersenyum saat bercermin. Saya merasa sedikit sedikit mulai jatuh cinta sama diri ini. Kalau diikutin ada banyak banget hal yang diperlukan sama diri ini. Dan meyakini bahwa ini proses yang akan terus berjalan tanpa ada deadline membuat saya lebih tenang dan gak merasa kalah dari yang lain. 

Hal lain ketiga yang saya pelajari adalah mencoba menghargai pendapat orang lain, bahkan saat pendapat tersebut berlawan dengan pendapat saya. Tentunya sebagai manusia saya berusaha untuk mengingatkan, terlebih untuk kebaikan. Kenyataannya gak semua orang mau mendengarkan. Gak semua orang harus melakukan apa yang saya lakukan. Karena gak semua yang saya yakini benar itu benar, dan belum tentu yang saya anggap salah itu salah. Karena gak ada kebenaran yang mutlak. Justru saat saya merasa salah atau tidak tahu, saya jadi belajar lebih saat mendengarkan orang lain. Di akhir percakapan saya bisa setuju, atau tidak setuju. Semua itu pilihan saya. Banyak hal yang memang di luar kuasa manusia, kayak merubah sifat orang lain. Atau memberi hidayah. Itu porsinya Allah. Di saat paling buruk dan buntu, yang bisa saya lakukan hanya mendoakan. 
Aneh rasanya jika hidup di negara demokrasi tapi saling menghujat hanya karena perbedaan. Awal mula perselisihan selalu karena komunikasi yang buruk. Prasangka buruk yang tidak berdasar, atau kesan pertama yang kurang baik tidak menentukan sifat lawan bicara kita. Saya yakin, saat percakapan terjalin tanpa prasangka sedikitpun, kita semua bisa berteman. 

Hal lain keempat yang saya pelajari adalah lebih banyak istirahat. Diluar sana ambisi diobral, berasa semua harus punya, semua harus bisa. Jujur, capek banget. Kira-kira bisa gak ya kita ngelakuin sesuatu hanya karena kita suka, bukan karena mau jadi orang kayak apalagi terkenal. Orang-orang kayak lagi lomba lari. Padahal marathon aja sebenarnya lomba ngelawan diri sendiri. Sekuat apa kita? Sekonsisten apa kita? Sesabar apa kita menjalani 42km?
Itu salah satu alasan kenapa saya lari. Karena saya lebih peka dan fokus sama pencapaian diri sendiri. Saya pernah merasa iri dengan apa yang dimiliki oleh teman saya, bagaimana mereka lulus cepat, atau bergelimang harta. Tapi setelah saya pikir lagi, banyak dari hal-hal itu yang saya gak butuh. Karena dasarnya manusia hanya butuh makan dan tempat tinggal. Kenapa saya harus butuh hal lainnya? Pertanyaan ini membuat saya jadi belajar tentang sustainable lifestyle. Dimana kita sebagai manusia baiknya lebih sadar terhadap banyak hal. Seperti pakaian yang kita pakai, makanan yang kita makan, barang yang kita beli. Dari "butuh gak ya?" jadi melebar ke "butuh gak ya? ini bahannya apa? ngerugiin lingkungan gak? apa perusahaan ini eco-friendly?" dsb. Ini semua bentuk istirahat buat saya. Istirahat dari dunia yang berputar dan berganti cepat sekali. Ini membuat saya berpikir lebih panjang, gak asal ambil keputusan. Selain itu, istirahat main media sosial juga salah satu detox yang dibutuhkan. Karena sebenarnya saya gak butuh terlalu lama ngeliatin hidup orang. Saya ingin coba lebih banyak baca buku untuk melatih imajinasi, mendengarkan isi hati dan mengeliminasi iri, dengki, serta segala hal buruk lainnya. 

Hal kelima yang saya pelajari adalah berlarut larut dalam kesedihan adalah hal yang percuma. Kita semua punya masalah. Punya kesulitan. Punya hal yang kita tahan sendiri. Gak ada yang masalahnya lebih besar dari yang lain. Porsinya udah dibagi sama yang maha kuasa. Ada yang kehilangan, ada yang kekurangan. yang terpenting kita gak saling menjatuhkan. Saling menguatkan bisa jadi opsi terbaik. Karena pada dasarnya kita saling membutuhkan. Saat masalah datang ada baiknya fokus sama inti permasalahannya. Lalu 5W1H. Iya, kayak tugas bahasa Indonesia. Tapi ini sangat membantu. Cari tahu, what, why, when, where, who and how.  Dengan begitu saya bisa fokus menyelesaikan masalah. Waktu gak kebuang buat menyesali yang sudah terjadi, atau tunjuk2an siapa yang salah. Karena jelas, siapa saja bisa salah, bisa juga benar. Tergantung dari mana sudut pandangnya. Saya bisa saja merasa paling sengsara di muka bumi ini, tapi saya memilih untuk tenang dan percaya bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya. 

Pada akhirnya saya sadar bahwa hidup tidak menjadi lebih mudah.
Tapi alhamdulillah saya menjadi lebih siap, lebih berani, lebih menerima. 

Selamat tinggal segala yang sudah berlalu di masa lalu.
Selamat datang kesempatan, keberhasilan dan kegagalan serta pengalaman baru. 

Mari jadi diri kita yang lebih baik.